Petta Lasinrang

Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu La Sinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo La Sinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng.

La Tenri Tatta Arung Palakka (wali pitue) sang pembebas

Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, November 26, 2012

Keragaman Suku di Sulawesi Selatan

Ketika mendengar atau membaca tentang Sulawesi Selatan pasti akan terbayang 2 suku besar yang ada di sana yakni sulu bugis dan suku makassar bahkan orang yang berdomisili di Sulawesi selatan saja hanya mengenal empat suku , yaitu makassar, bugis, mandar dan toraja... ternyata masih banyak suku lain yang menetap di kawasan Sulawesi Selatan ini....

  • SUKU BENTONG = Suku Bentong mendiami daerah perbukitan Bulo-Bulo, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Menurut orang Bentong yang biasa berkelana di hutan semak-semak ini, mereka adalah keturunan putra Raja Bone yang kawin dengan putri Raja Ternate. Sumber lain menyebutkan bahwa mereka ini adalah keturunan orang Bugis dan Makasar. Hal ini dapat dilihat dari adat istiadat dan bahasa mereka yang dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan Bugis dan Makasar. Suku bangsa yang hidupnya berpindah-pindah ini masih dikategorikan sebagai masyarakat "terasing."
  • SUKU BUGIS = Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Suku tersebut berpusat di Sulawesi Selatan. Suku ini mendiami sebelas Kabupaten, yaitu Kab. Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sidenreng-Rappang, Powelai-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros.
  • SUKU CAMPALAGIAN = Suku Campalagian pada umumnya tinggal di kota Polmas, Campalagian; di propinsi Sulbar Umumnya mereka tinggal di daerah dataran rendah yg subur. Adat budaya mereka sangat dipengaruhi oleh suku Toraja dan suku Bugis sehingga terdapat banyak kemiripan dalam bahasanya.
    Mayoritas mereka beragama Islam dan berbagai unsur agama ini terpadu dengan baik & sulit
    dipisahkan dari adat istiadat mereka. Namun demikian animisme – pemujaan kepada roh2 & dukun masih mendapat tempat & kepercayaan dalam suku ini walaupun lambat laun semakin berkurang.
    Nama lain dari suku ini adalah Tulumpanuae atau Tasing, dan biasa disebut oleh pemerintah suku Mandar. Namun mereka menyebut diri mereka orang Campalagian. Mereka tinggal di sekitar Kabupaten Majene, tepatnya di kota Campalagian dan Kab. Polewali-Mamasa (Polmas) serta di Kabupaten Mamuju sepanjang sungai Mandar.
  • SUKU DURI = Suku Duri terdapat di Kabupaten Enrekang, di daerah pegunungan yang berhawa sejuk di tengah-tengah Propinsi Sulawesi Selatan, berbatasan dengan Tanah Toraja. Pemukiman orang Duri terdapat di kecamatan Baraka, Alla dan Anggeraja yang seluruhnya berjumlah 17 desa. Mereka tinggal dekat dengan jalan yang dapat dilalui mobil. Hanya sedikit yang bermukim di daerah pegunungan yang tinggi. Dapat dikatakan 85% dari orang Duri tinggal di pedesaan. Ciri khas masyarakatnya adalah perantau. Banyak orang Duri terutama laki-laki, yang berimigrasi ke Pare-Pare, Toraja, Ujung Pandang, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan, Sumatra, Maluku, Irian Jaya dan Malaysia. Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.
  • SUKU ENREKANG = Suku Enrekang masih berhubungan erat dengan Bugis . Pada umumnya berdomisili di Kabupaten Enrekang provinsi Sulsel. Sejak abad XIV, daerah ini disebut MASSENREMPULU yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung, sedang sebutan Enrekang dari ENDEG yang artinya NAIK DARI atau PANJAT dan dari sinilah asal mulanya sebutan ENDEKAN. Masih ada arti versi lain yang dalam pengertian umum sampai saat ini bahkan dalam Adminsitrasi Pemerintahan telah dikenal dengan nama “ENREKANG” versi Bugis sehingga jika dikatakan bahwa Daerah Kabupaten Enrekang adalah daerah pegunungan, sudah mendekati kepastian sebab jelas bahwa Kabupaten Enrekang terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit sambung menyambung mengambil ± 85 % dari seluruh luas wilayah yang luasnya ± 1.786.01 Km². Suku Enrekang terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, kurang lebih 259 Km dari kota Ujung Pandang .
  • SUKU KONJO PEGUNUNGAN =  Suku Konjo Pegunungan terutama tinggal di wilayah pegunungan di Kecamatan Tinggi Moncong dengan kotanya Malino, hampir seluruh Kabupaten Gowa dan Sinjai. Wilayah Kalimporo/Jannaya merupakan pusat wilayah Konjo, yang memiliki keterikatan dengan daerah Tana toa lama dan desa-desa Konjo yang lain. Bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasa Konjo yang termasuk dalam kelompok bahasa Makasar dan serupa dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Selatan. Suku ini mendiami hampir seluruh Kabupaten Gowa. Gowa bekas kerajaan yang menjadi obyek wisata, terletak sekitar 30 km dari Ujung Pandang .
  • SUKU KONJO PESISIR = Suku Konjo Pesisir mendiami empat kecamatan di sebelah tenggara dari wilayah Bulukumba -- Kajang, Herlang, Bonto Tiro dan Bonto Bahari. Yang juga termasuk suku ini adalah suku Konjo Hitam, yang menempati daerah sebelah barat dari Kajang. Suku Konjo Hitam ini memilih mempertahankan cara hidup lama, seperti misalnya : memakai pakaian hitam, tidak mengijinkan penggunaan peralatan modern (mis : kursi, lampu, kendaraan, sekolah) dan mempraktekkan ilmu sihir sebagai bagian dari ibadah animistik mereka. Suku Konjo tinggal di Kabupaten Bulukumbu, kurang lebih 209 km dari kota Ujung Pandang , Propinsi Sulawesi Selatan. Nama lain suku ini adalah Kajang - merupakan perkampungan tradisional khas suku Konjo.
  • SUKU LUWU = Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti “Laut”. Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading. Suku Luwu tinggal di Kabupaten Luwu dan sekitarnya.
  • SUKU MAIWA = SUKU MAIWA tinggal di dataran wilayah Enrekang & Sidenrang, propinsi SulSel. Orang Maiwa sangat mengutamakan keluarga & pola hidup gotong royong. Status sosial ditentukan oleh pendidikan atau kekayaan. Orang Maiwa sudah menjadi Muslim yg taat sejak abad ke- 17 namun kepercayaan animisme masih melekat kuat dalam kehidupan mereka sehari2. Terdapat 150 jiwa dari populasi 320,000 jiwa ini yg Kristen. Suku Maiwa merupakan salah satu suku di Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang.
  • SUKU MAKASAR =
    Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya.
    Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut"
    Wilayah suku Makasar berada di Kabupaten Takalar Jeneponto, Bantaeng, Selayar, Maros dan Pakajene. Pada umumnya kehidupan orang Makasar dan orang Bugis berbaur, dengan penduduk terletak di pesisir pantai dan Teluk Bone, serta di sekitar Gunung Lompobatang.
  • SUKU MAMUJU = Suku Mamuju mendiami tanah-tanah pesisir di tepi pantai timur Sulawesi dan lereng-lereng pegunungan di Kabupaten Mamuju, dari batas sebelah selatan kabupaten ini sampai mulut sungai Budong-Budong. Daerah pedalaman suku ini dialiri oleh beberapa sungai seperti sungai Hua, Karamu, Lumu, Budung-budung. Bahasa mereka adalah bahasa Mamuju, yang memiliki 9 dialek. 
  • SUKU MANDAR = Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya. Suku Mandar terletak di Kabupaten Majene, Propinsi Sulawesi Selatan.
  • SUKU TOALA'/PANNEI = Suku Toala adalah penduduk asli Sulawesi Selatan yang mendiami desa Leang Pata’E di Lomoncong yang terletak di ujung kabupaten Maros provinsi Sulawesi Selatan. Suku Toala sendiri menjadi masyarakat minoritas di desa Leang-leang yang secara mayoritas dihuni oleh suku Bugis yang hidup dari pertanian kebanyakan menggarap sawah dan beternak. Selain itu komunitas suku Toala ini juga terdapat di kabupaten Pangkep dan kabupaten Polewali Mandar. Suku Toala, di daerah kabupaten Pangkep dan kabupaten Polewali Mandar lebih dikenal dengan sebutan suku Pannei.Sumpang Bita adalah obyek wisata gua yang terdapat di Kab. Pangkep, Sulsel. Pada dinding gua Sumpang Bita itu terdapat bekas gambar telapak tangan, dan telapak kaki manusia, perahu, rusa dan babi hutan. Mungkin unsur-unsur ini menunjukkan gaya hidup orang Toala/Pannei zaman dulu. Konon sejak 5000 tahun yang lampau merupakan tempat hidup nenek moyang suku Toala/Pannei.
  • SUKU ULUMANDA = Suku Ulumanda masih termasuk rumpun Bugis yang berjumlah 31.000 jiwa berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Suku ini merupakan salah satu anak suku Bungku. Mata pencaharian mereka adalah petani. Daerah ini kaya dengan bahan baku mineral, pasir, karomit, rotan, dan kayu hitam dsbnya. Penduduk pesisir kebanyakan lebih senang melaut, ini menjadi bagian dalam hidup mereka. 
    Masyarakat Ulumanda berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Suku ini merupakan salah satu anak suku Bungku.

- Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini. (Wikipedia)


Sunday, November 25, 2012

Mengetahui lebih dalam tentang Hukuman Mati Yang selalu menimbulkan perdebatan

Hukuman mati sedari dulu telah menjadi perdebatan yang amat alot di kalangan umat manusia.Ada yang menganggap bahwa hukuman mati itu menyalahi Hak Asasi Manusia yakni hak untuk hidup, ada pula yang beranggapan bahwa hukuman mati cukup perlu untuk di peradakan agar memberi efek jera bagi para pelaku kriminal bahkan mereka akan berpikir puluhan kali sebelum melakukan tindak kejahatan. dalam kesempatan kali ini saya mengajak para pengunjung sekalian untuk bersama-sama mengkaji sebenarnya apakah hukuman mati tersebut perlu atau tidak untu di terapkan dalam rana hukum.

Sejarah Hukuman Mati

Sangat susah untuk mengetahui dengan tepat kapan pertama kali hukuman mati dilakukan. Hukuman mati resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 Sebelum Masehi. Saat itu ada 25 macam kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati berubah-ubah. Misalnya saja di kerajaan Yunani di abad ke-7 Sebelum Masehi hukuman mati berlaku untuk semua tindak pidana. Pada masa-masa selanjutnya jenis tindak pidana yang diancam pidana mati semakin terbatas.

Jenis-Jenis Eksekusi Hukuman Mati
Cara eksekusi hukuman mati dari waktu ke waktu semakin berubah. Pada masa masyarakat komunal, hukuman mati diterapkan dengan cara amat keji seperti dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, hukuman pancung, disalib, dirajam atau dilempar baru ramai-ramai atau dengan diinjak gajah. Pada periode ini hukuman mati sangat bervariasi di setiap tempat. Pada umumnya eksekusi dilakukan untuk menjadi tontonan publik. Pada periode ini pelaku kejahatan ringan seperti mencopet atau mencuri pun bisa dihukum mati.
 
Eksekusi di depan publik mereka nilai masih efektif untuk menimbulkan efek jera bagi orang lain. Mungkin itulah yang membuat China hingga tahun 2006 tercatat sebagai negara yang paling banyak mengeksekusi terpidana mati. Data resmi menyebutkan 1.100 terpidana mati dieksekusi tahun lalu. Di belakang China, membuntuti Iran (177 eksekusi), Pakistan (82), Irak (65), Sudan (65), serta Amerika Serikat (53 eksekusi).


Betapa pun "manusiawinya" cara eksekusi terpidana mati, hukuman ini tetap dinilai sebagai salah satu bentuk hukuman yang keji. Karena itu, kini 90 negara di dunia menghapus hukuman mati sama sekali. Sebelas negara lainnya menghapus hukuman mati kecuali untuk kejahatan-kejahatan luar biasa. Selain itu 32 negara tidak menghapus hukuman mati, namun tak pernah juga menerapkan hukuman mati. Di negara-negara seperti ini para hakim menggunakan diskresinya untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Sementara itu masih ada 64 negara, termasuk Indonesia, yang hingga kini menerapkan hukuman mati.

Argumen kontra

Hukuman mati telah lama, dan nampaknya akan tetap, menjadi topik debat klasik di antara para ilmuwan filsafat dan hukum. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis), mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat.

Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.

Majelis Umum PBB pada tahun 2007, 2008 dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding resolutions) yang menghimbau moratorium global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak.

Dasar argumen selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amandemen VIII Konstitusi Amerika Serikat.

Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia. Pada tahun 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Rush mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pasal hukuman mati dalam UU No 22/1997 tentang Narkotika.

Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. Namun, permohonan para pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia.

Kelompok abolisionis juga menolak alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera, dan karenanya akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya korupsi. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi negatif antara hukuman mati dan tingkat korupsi.

Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional tahun 2011 justru negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati menempati ranking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru ranking 1, Denmark 2, dan Swedia 4.


Argumen pro

Kelompok retensionis tidak kalah sengit mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberikan efek cegah terhadap pejabat publik yang akan melakukan korupsi. Bila menyadari akan dihukum mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi.

Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime pada tahun 2012, misalnya, tingkat kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100.000 orang. Bandingkan dengan Finlandia 2,2, Belgia 1,7 dan Russia 10,2.

Kaum retensionis juga menolak pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap koruptor) bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, mereka berpendapat justru korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak hidup dan hak asasi manusia tidak hanya satu orang, namun jutaan manusia.

Kelompok retensionis berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat pun, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus Gregg vs Georgia Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan, “the punishment of death does not violate the Constitution”.

Dari berbagai argumen yang dikemukakan kelompok abolisionis dan retensionis sesungguhnya dapat diambil kebijakan sintesis hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Dalam keadaan darurat korupsi seperti sekarang ini dimana korupsi telah menyebabkan kemiskinan yang luas dan karenanya ‘membunuh’ hak hidup jutaan manusia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang koruptor. Jadi pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga diterapkan untuk memberikan peringatan keras pada para pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi.

Akan tetapi, hukuman mati hanya dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas. Selain itu, hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana yang korup seperti sekarang ini seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Di Amerika Serikat, 23 orang telah dihukum mati karena kekeliruan peradilan dalam periode 1900-1987.

Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice terdakwa korupsi harus diberikan hak melakukan upaya hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang kasasi terdakwa wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana independen Mahkamah Agung. Untuk mengumpulkan bukti-bukti baru yang meyakinkan (novum), ia pun diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas waktu.

Apabila terdakwa pada akhirnya dipidana mati, ia pun masih memiliki kesempatan untuk mengajukan grasi atau permintaan ampun. Ada dua opsi dalam hal ini. Pertama, ia mengajukan permintaan ampun kepada Parlemen sebagai wakil rakyat yang telah dirugikan. Jika grasinya diterima, maka hukumannya diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun bila ditolak, ia masih memiliki kesempatan memohon grasi ke Presiden.

Opsi kedua, terdakwa mengajukan grasi ke Presiden yang sedang berkuasa. Tetapi, apabila grasinya ditolak, ia dapat mengajukan kepada Presiden dari pemerintahan yang baru. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan hukuman mati oleh rezim korup yang ingin menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

Apabila Indonesia telah terbebas dari darurat korupsi dan kedaulatan hukum telah ditegakkan, maka hukuman mati terhadap koruptor sebaiknya dihapuskan. Dampak korupsi dalam keadaan ‘normal’ tidaklah seburuk seperti dampak korupsi dalam keadaan darurat.

Selain itu, meskipun kita telah mendesain sistem peradilan pidana dengan baik untuk mencegah miscarriage of justice, kemungkinan menghukum mati orang yang tidak sepantasnya dihukum mati tetap ada. Kita tidak ingin menghukum mati anak manusia yang tidak bersalah. Karena, seperti yang dikatakan ahli hukum abad 12 Moses Maimonides, “It is better and more satisfactory to acquit a thousand guilty persons than to put a single innocent man to death." Membunuh satu manusia (yang tidak bersalah), sabda Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya seperti membunuh seluruh manusia.
  • BAGI YANG KONTRA HUKUMAN MATI, selalu mengaitkan dengan Hak Asasi Manusia, Panca Sila dan hak pencabutan nyawa seseorang, karena hukuman mati dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terdalam yakni hak untuk hidup dan tidak ada satupun manusia di dunia ini mempunyai hak untuk mengakhiri hidup manusia lain meskipun dengan atas nama hukum atau negara, apalagi Indonesia menganut dasar Falsafah Panca Sila yang menghormati harkat dan martabat manusia serta berke-Tuhanan, karena yang paling berhak mencabut nyawa mahluk hidup hanya Tuhan.
  • BAGI YANG PRO HUKUMAN MATI, demi ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat serta keadilan, maka sudah wajar dan pantas jika pelaku kejahatan yang sadis atau perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan kerugian orang banyak atau masyarakat disingkirkan dari muka bumi ini.
  • Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila bukan untuk melindungi penjahat atau orang yang berbuat merugikan orang banyak, karena Hukum Hak Asasi Manusia dan Panca Sila untuk melindungi kepentingan orang banyak atau masyarakat, sedangkan hak mencabut nyawa seseorang memang benar hak Tuhan tetapi dalam hal ini dapat juga diartikan bahwa Tuhan telah mengutus hakim dan regu tembak untuk mencabut nyawa siterpidana, jika Tuhan tidak mengutus dan/atau mengijinkan maka tidak mungkin siterpidana akan berhadapan dengan regu tembak eksekutor dan mati.
  • BAGI YANG PRO DENGAN SYARAT-SYARAT TERTENTU, hukuman mati tiu tidak menjadi persoalan jika saat penyidikan kepada tersangka diberi hak-haknya secara wajar tanpa adanya unsur paksaan dalam arti dihormati Hak Asasi Manusia-nya dan hak hukumnya untuk didampingi seorang Advokat atau lebih dan tidak ada pemaksaan atau provokasi dengan motif tertentu sepeninggal Advokatnya, serta diyakini dengan benar bukan karena keterpaksaan bahwa memang benar si tersangka adalah pelakunya. Penjahat atau perbuatan yang sangat merugikan orang banyak dan merusak generasi bangsa serta menimbulkan rasa ketakutan atau kecemasan masyarakat memang seharusnya disingkirkan dari muka bumi.
Sebanyak 144 negara anggota PBB memiliki kategori berbeda terkait hukuman mati ini. Rinciannya, 97 negara sama sekali menghapuskan hukuman mati, delapan negara menghapuskan hukuman mati terhadap kejahatan khusus, dan 35 negara tidak melakukan eksekusi atau moratorium. Sedangkan 58 negara termasuk Indonesia adalah negara yang masih memberlakukan hukuman mati. jika dipresentasikan, 71 persen negara tidak melakukan hukuman mati, dan 29 persen negara masih menerapkan hukuman mati. Negara-negara yang masih melakukan eksekusi mati, tuturnya, trennya pun menurun. Pada 2011, hanya 21 negara yang melakukan eksekusi, dari total 58 negara pendukung hukuman mati. Di kawasan Asia Pasifik, hanya tujuh negara yang melakukan eksekusi mati. Di wilayah Pasifik hanya satu negara yang melakukan eksekusi hukuman mati.

Hukuman mati perlu atau tidaknya diperadakan memang ditentukan oleh oknum-oknum yang telah di berikan kepercayaan untuk mengurusnya. namun sudah sepantasnya kita sebagai rakyat bisa menilai dan menganalisa wacana-wacana yang sedang menyeruak agar kita tidak dijadikan sebagai media dalam usaha pembodohan rakyat oleh kaum-kaum elit yang tidak bertanggung jawab...

salam pembebasan...


Thursday, November 1, 2012

Kontroversi Sejarah, Apakah R.A.Kartini hanyalah "Pahlawan Wanita Bikinan Belanda?"

Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan jasa-jasa seorang R.A. Kartini yang turut membangkitkan semangat kaum wanita Indonesia untuk maju. Juga tidak merendahkan penghargaan gelar pahlawan kepada beliau oleh pemerintah. Tapi hanya ingin menyadarkan kita bahwa tidak sepenuhnya sejarah itu mutlak benar, dan apa-apa yang kita yakini kebenarannya saat ini bisa saja sebuah kekeliruan yang harus dikoreksi.
Bermula di tahun 1970-an, ketika itu guru besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar mengkritik “pengkultusan” R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1990 cetakan ke-4), Harsja W. Bachtiar menulis sebuah artikel berjudul: Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut; tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologisnya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, kenapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).  Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut. Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachtiar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami-istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini. Abendanon mengunjungi Kartini tiga bersaudara dan kemudian menjadi sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral Belanda, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak. Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. Van Kol dan penganjur Haluan Etika, C.Th. Van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbut terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922, terjemahan Empat Saudara). Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C. Th. Van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang Belanda. Harsja Bachtiar kemudian mencatat; Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka. (docs.google.com)

J.H. Abendanon, Menteri yang menulis buku
J.H. Abendanon (1852-1925) adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900 dan ditugaskan oleh Belanda untuk melaksanakan Politik Etis.  Karena baru di Hindia-Belanda, Abendanon tidak mengetahui keadaan masyarakat Hindia-Belanda dan tidak paham bagaimana dan dari mana ia memulai programnya. Untuk keperluan itu, Abendanon banyak meminta nasihat dari teman sehaluan politiknya, Snouck Hurgronje, seorang orientalis yang terkenal sebagai arsitek perancang kemenangan Hindia-Belanda dalam Perang Aceh.
Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren).
J.H. Abendanon kemudian dikenal sebagai salah satu teman koresponden Kartini dan dialah yang menulis buku berjudul Door Duisternis tot Licht yang diterjemahkan oleh Armyn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku Door Duisternis tot Licht di terbitkan tahun 1911 oleh pemerintah Belanda. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan anehnya pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. (Wikipedia)

Snouck Hurgronje dan sepak terjangnya
Di atas disebutkan peran Snouck Hurgronje sebagai teman bertukar pikiran J.H. Abendanon dalam menjalankan politik etis. Siapa Cristiaan Snouck Hurgronje pasti pembaca sudah banyak yang mengetahuinya. Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang pendeta Protestan seperti halnya ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Sejak kecilnya Snouck sudah diarahkan pada bidang teologi.  Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab di tahun 1875.  Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah).  Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidikan ke Mekkah tahun 1884.  Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian berhasil “dibeli” oleh Belanda dan dikirim ke Mekkah, mengubah minatnya.  Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah,  JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh.  Setelah saran-sarannya  tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara, Habib Zahir yang kecewa menyerahkan semua naskah penelitiannya kepada Snouck yang saat itu, tahun 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda (Ministerie van Kolonieën). Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki di pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya tanggal 26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasehat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. (Wikipedia).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Giriukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam tahun 1989) P.Sj. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukan Islam. Untuk mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid Syekh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang Muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Gaffar seperti disebutkan di atas. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalamannya ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouk dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam; Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya (hal 116).
Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta, LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.

Politik Etis, balas budi Belanda atau perlawanan terhadap syiar Islam?
Sebelumnya telah disinggung mengenai Poltik Etis sebagai program pemerintah Belanda yang harus dijalankan oleh J.H. Abendanon sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa yang diterapkan sebelumnya. Dengan dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (seorang politikus), pemikiran ini diterima oleh pemerintah kolonial seperti disebutkan dalam pidato Ratu Wilhelmina pada tanggal 17 September 1901, pada saat baru naik tahta di pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi
3. Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Namun sayangnya, penjajah tetaplah penjajah, niat baik dari penggagas politik etis ini dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memperkuat cengkeraman kuku-kuku penjajahannya di bumi Nusantara. Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan transmigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. (Wikipedia)
Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia, namun ini pun dilakukan dengan memaksakan pemikiran dan budaya Barat ke dalam jiwa orang pribumi dan mencoba menyingkirkan cara pandang Islam yang sudah terlebih dulu tumbuh di sanubari orang Jawa.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara. Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990, cet.Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini; Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hugronje?
Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Belanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis;
Salam, Bidadariku yang manis dan baik! … Masih ada lagi satu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut; Apalah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya. (Buku: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, penerjemah: Sulastin Sutrisno, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000, hal 234-235).

Pemahaman agama Islam Kartini yang dangkal
Walaupun kakeknya (ayah ibunya, Kyai Haji Madirono, adalah seorang ulama dan guru agama, ternyata pemahamannya tentang agama Islam masih sangat dangkal. Salah satu sebabnya, seperti diakui sendiri oleh Kartini dalam suratnya kepada nona Zeehandelaar, 6 Nopember 1899, adalah pemahamannya tentang Alquran yang sangat kurang karena tidak mengerti isinya.
Lagi pula, sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh aku mengenalnya? Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana jua pun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Qur’an, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Piiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetapi tidak diajarkan makna yang dibacanya itu. Sama saja engkau mengajar aku membaca kitab bahasa Inggris, aku harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata jua pun yang kau terangkan artinya kepadaku. Sekalipun tiada jadi orang saleh,kan boleh juga orang jadi orang baik hati, bukan Stella?

Di bagian lain dari surat itu Kartini menulis:
Ya, Tuhanku, ada kalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu, yang sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahulu-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya.
Keinginan Kartini yang luar biasa untuk bertemu dan berdiskusi dengan Snouck Hurgronje dan kekagumannya dengan sosok orientalis Belanda tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan pemikiran Kartini sudah dipengaruhi secara luas oleh pemikiran Snouck yang sebetulnya sangat ingin menjauhkan Islam dari kehidupan orang pribumi. Seperti kebencian Kartini dengan poligami dan lembaga perkawinan, seperti disebutkan pada suratnya kepada nona Zeehandelaar.
Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. 
Mengertikah engkau sekarang apakah sebabnya maka sesangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. Tetapi, tiada suatu jua pun boleh dikerjakan, karena menilik kedudukan Bapak.

Keraguan atas surat-surat Kartini
Secara umum surat-surat R.A. Kartini kepada teman-teman korespondensinya hanya diketahui dari buku J.H. Abendanon. J.H. Abendanon dan istrinya mengaku sebagai salah satu teman korespondensi Kartini, dimana beberapa surat Kartini yang ditujukan kepadanya dan istrinya juga turut dipublikasikan di dalam bukunya itu. Namun sampai sekarang, sebagian besar naskah asli surat-surat Kartini yang dijadikan bahan penulisan buku tersebut maupun jejak J.H. Abendanon sendiri sebagai penulis dan keturunannya belum ditemukan, sehingga ada dugaan sebagian surat-surat Kartini atau isinya direkayasa oleh J.H. Abendanon. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis.

Layakkah Kartini sebagai pahlawan Indonesia?
Seperti halnya beberapa warisan kolonial Belanda lainnya yang sampai sekarang masih dipertahankan dan dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, seperti peraturan perundangan-undangan dan hukum, maka kepahlawanan seorang R.A. Kartini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa, apakah akan terus dipertahankan atau dikoreksi keberadaannya.
Kalau dibaca secara mendalam surat-suratnya itu, maka Kartini adalah seorang wanita yang tertekan dengan budaya Jawa dan keislamannya, dan ingin melarikan diri daripadanya. Penyesalannya terlahir sebagai anak gadis Jawa terekam dalam suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer (Awal tahun 1900):
Aduh alangkah pedihnya, sedihnya rasa hatiku. Sangat sengsaranya menjadi seorang anak gadis Jawa, sedang dia ada berperasaan halus. Ibu bapakku, kasihan, kasihan, nasib celaka manakah yang memberikan kami ini kepadanya jadi anaknya?

Perkembangan kemusyrikan atau syirik kepada Tuhan Yang Esa

Perkembangan kemusyrikan atau syirik kepada Tuhan Yang Esa, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan keyakinan di masyarakat. Para sosiolog mengajukan berbagai macam pandangan seputar perkembangan keyakinan-keyakinan syirik di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan silih-berganti. Tetapi, pandangan dan penafsiran itu tidak berdasarkan dalil yang kokoh dan akurat.




Sehubungan dengan hal itu, pertanyaan yang layak dilontarkan adalah: Bagaimanakah, dan kapankan kecendrungan masyarakat kepada kemusyrikan itu mulai timbul? Atau: faktor apakah yang menjadi sebab utama terjadinya kemusyrikan dan meyakini banyak Tuhan tersebut? Ada kemungkinan, bahwa faktor pertama kecenderungan syirik dan keyakinan pada banyak Tuhan, adalah tatkala seseorang melihat banyak dan beragamnya realitas-realitas di langit dan di bumi. Mulai dari situlah mereka berkeyakinan, bahwa setiap bagian realitas itu tunduk di bawah pengaturan Tuhan tertentu. Misalnya matahari memiliki Tuhan tertentu yang mengaturnya. Rembulan tunduk dibawah pengaturan Tuhan yang lainnya. Dan begitulah seterusnya bagi benda-benda dan realitas-realitas lainnya, baik yang berada di bumi maupun yang di langit. Masing-masing memiliki Tuhan tertentu yang mengawasi dan mengaturnya. Bahkan, sebagian dari mereka percaya, bahwa seluruh kebaikan itu bersumber dari Tuhan kebaikan. Sementara seluruh keburukan berasal dari Tuhan keburukan. Berangkat dari sinilah, mereka yakin bahwa alam semesta ini memiliki dua sumber wujud dan pencipta; Pencipta kebaikan dan Pencipta keburukan


Demikian pula pengamatan mereka terhadap pengaruh sinar matahari, bulan dan bintang-bintang terhadap realitas bumi. sehingga -dari satu sisi-mereka memandang bahwa benda-benda tersebut memiliki suatu bentuk pengaturan terhadap apa yang ada di bumi. Dari sisi lain, bahwa kecendrungan manusia untuk menyembah sembahan yang dapat diindera, mendorong mereka untuk membuat berbagai lambang dan simbol bagi Tuhan-Tuhan yang mereka anggap layak untuk mereka sembah. Lambang-lambang itu, lambat laun, mendarah daging dan terukir di hati orang-orang yang pikirannya lemah. Selanjutnya setiap bangsa, bahkan suku, membuat ritual keagamaan tertentu -sesuai dengan anggapan mereka masing-masing- yang bertujuan untuk menyembah lambang tersebut. Dengan cara itulah mereka dapat memenuhi desakan fitrah -untuk menyembah Tuhan Pencipta- dari dalam diri mereka.


Lebih dari itu, mereka pun berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan hewani dan hawa nafsunya dalam bentuk kesucian agama. Dan sebagian dari ritual-ritual keagamaan tersebut, masih berlanjut hingga sekarang, yang disertai dengan berbagai macam tarian, nyanyian, minum khamar, hubungan seks dan perilaku hewani lainnya, yang semua itu mewarnai suasana ritual keagamaan para penyembah lambang tersebut. Di negara kita Indonesia misalnya, fenomena semacam itu masih dapat kita saksikan, atau paling tidak kita dengar, di daerah-daerah pedalaman Kalimantan atau Sumatera dan di tempat-tempat lainnya.


Di samping itu semua, adanya tujuan para penguasa zalim, congkak dan tamak, yang sengaja ingin memanfaatkan keyakinan dan pemikiran masyarakat awam demi memenuhi ambisi busuk mereka, mengokohkan dan memperluas daerah kekuasaan mereka. Untuk tujuan itulah mereka menebarkan keyakinan-keyakinan syirik, menurunkan pengaturan alam di bawah kuasa mereka, dan menjadikan raja-raja yang zalim sebagai sembahan dan bagian dari upacara keagamaan. Kenyataan ini tampak begitu jelas pada raja-raja dan sultan-sultan di Cina, India, Iran, Mesir dan negeri-negeri yang lain.


Dengan demikian, dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu telah tumbuh dan berkembang di tengah umat manusia karena faktor yang beragam. Lalu, keyakinan-keyakinan itu tersebar luas, sehingga menjadi kendala bagi proses kesempurnaan hakiki umat manusia, yaitu proses yang hanya dapat dicapai melalui ajaran Ilahi dan Tauhid. Oleh karena itu, para nabi dan utusan Tuhan, mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk memberantas syirik.


Pada dasarnya, keyakinan-keyakinan dan dasar-dasar syirik itu, bertumpu pada kepercayaan adanya pengatur alam selain Tuhan Yang Esa. Di samping itu, banyak kaum musyrik yang percaya, bahwa pencipta alam semesta adalah satu. Buktinya adalah bahwa mereka mempercayai konsep Tauhid dalam penciptaan. Tetapi pada saat yang sama, mereka pun meyakini adanya Tuhan-Tuhan sebagai pengatur alam secara mandiri. Dan mereka juga menamakan Tuhan Pencipta sebagai “Tuhan di atas Tuhan-Tuhan pengatur”.


Sebagian mereka menganggap, bahwa Tuhan-Tuhan pengatur itu adalah malaikat. Musyrikin Arab percaya, bahwa Tuhan-Tuhan pengatur itu adalah putri-putri Allah. Sebagian lainnya percaya, bahwa mereka itu adalah jin. Di antara mereka ada pula yang percaya, bahwa mereka itu adalah ruh bintang-bintang, atau ruh orang-orang terdahulu, atau bentuk-bentuk maujud yang abstrak.


Sebagaimana pernah kami singgung, bahwa sebenarnya terdapat kaitan yang erat antara penciptaan (Khaliqiyah) dengan pengaturan (Rububiyah) yang hakiki. Sehingga keimanan pada penciptaan dan pengaturan itu tidak dapat dipisahkan sama sekali. Dan keimanan kepada Allah sebagai pencipta alam raya ini, tidak sejalan dengan kepercayaan kepada selain Allah sebagai pengaturnya. Mereka yang memiliki keyakinan adanya dua Tuhan; Tuhan Pencipta dan Tuhan Pengatur, sesungguhnya belum menyadari adanya kontradiksi di dalamnya. Untuk menyanggah keyakinan mereka, cukuplah dengan mengangkat poin kontradiksi tersebut.


Sebenarnya banyak sekali dalil-dalil atas Tauhid kepada Allah yang telah dipaparkan di berbagai kitab Teologi dan Filsafat. Di sini, kami hanya akan membawakan satu dalil saja, yang secara langsung menunjukkan Tauhid dalam pengaturan, sekaligus menyanggah keyakinan-keyakinan kaum musyrik.