Perang Bubat
Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 masehi.Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi – yang sedianya akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk – ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.
Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.
Sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali, berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya.
Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.Kemudian nama penulis tidak diketahui dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam Wuruk.
Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun 1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.
Perlu di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
Sebenarnya peristiwa bubat ini adalah upaya daripada devide et impera yang dilancarkan oleh para penjajah belanda yang kemudia di kembangkan dan dilestarikan kembali oleh penjajah bangsa Nusnatara yang bernama Indonesia saat ini, bersama dengan penguasa Negara kesatuan republic Indonesia, devide et impera terus dilestarikan, hukum belanda yang merupakan produk hokum pemjajah untuk melestarikan penjajahannya juga terus dilestarikan Perlu dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.
Sepertinya kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda ?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih mendalam.Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).
Semoga bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan. Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik pemecah belah si penjajah.Sejarah tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam, bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran. Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat cerita tentang perang tersebut tidak dilengkapi data akurat.Buktinya penggalian purbakala di Trowulan dan di lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.Bubat dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.
Pusat Kerajaan Majapahit pun berbeda dengan anggap-an awam selama ini yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat. lokasi Bubat bukan sebagai pusat kerajaan Majapahit, di sekitar Bubat diperkirakan sebagai lingkungan yang padat penduduk. Seharusya jika terjadi peperangan, tentulah diketahui oleh masyarakat sekitar. Kalaupun terjadi pertempuran, barangkali bukan pertempuran besar. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar belum pernah mendatangi langsung tempat yang disebut-sebut sebagai lokasi pecahnya Perang Bubat "Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempumya pasukan-pasukan zaman dulu," katanya.
Bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya ditemukan tombak dan keris yang berceceran.Nmun pada peristiwa Bubat ini, sanagt miskin bukti arkeologi. Bahkan bisa dibilang, belum ada bukti arkeologinya. Peristiwa sejarah akan lebih dipercaya jika mempunyai bukti-bukti arkeologi. Apalagi kalau sampai ada prasasti yang menerangkannya, tidak akan bisa dibantah.
Bukti arkeologi akan memperkuat bukti sejarah yang berupa naskah-naskah kuno. Naskah kuno biasanya sudah melalui proses penyalinan berkali-kali sehingga memungkinkan adanya perubahan dari naskah aslinya Tetapi setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja. "Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," katanya.Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara. Sejarah Indonesia, menyebutkan bahwa lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, ibu) kota Majapahit.
DI kalangan masyara-kat Sunda, peristiwa Bubat yang lebih sering disebut
Perang Bubat, bisa dijumpai dalam beberapa naskah kuno yang ditulis hampir
dua abad setelah peristiwanya terjadi. Naskah-naskah itu antara lain
Pararaton, Kidung Sunda, Carita Parahyangan, dan naskah Wangsakerta.
Sebaliknya, naskah Nagarakertagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca sama
sekali tidak menyinggung peristiwa tersebut.
Naskah-naskah kuno itu banyak dijadikan acuan dalam menulis Sejarah Jawa
Barat. Salah satu di antaranya buku "Sejarah Jawa Barat" yang ditulis
wartawan dan budayawan Drs. Yoseph Iskandar. Di sana, Yoseph melukiskan
peristiwa itu secara mengharukan.Lewat "Pararaton" dan Pustaka Nusantara II/2 yang diambil dari naskah Wangsakerta terjemahan Drs. Saleh Danasasmita (alm), peristiwa itu bisa
dituturkan kembali sebagai berikut: "Kemudian terjadi peristiwa orang Sunda
di Bubat. Sri Prabu ingin memperistri putri dari Sunda. Patih Madu diutus
mengundang orang Sunda. Maksudnya mengharap agar orang Sunda menikahkan
putrinya. Lalu raja Sunda datang di Majapahit. Sang ratu Maharaja tidak
bersedia mempersembahkan putrinya. Orang Sunda harus meniadakan selamatan
(jangan mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan) kata sang utusan. Sang
Mahapatih Majapahit tidak menghendaki pernikahan (resmi), sebab ia
menganggap rajaputri sebagai upeti".
Karena merasa terhina, Raja Sunda dan rombongannya menolak permintaan
tersebut. Apalagi Kerajaan Sunda bukan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Raja
Sunda merasa sejajar dengan Majapahit, sehingga akhirnya terjadilah Perang
Bubat pada hari Selasa-Wage sebelum te-ngah hari, tanggal 13 bagian terang
bulan Badra tahun 1279 Saka.
Orang Sunda sebenarnya cukup lama bersabar menanti peng-akuan dari para
penulis sejarah di luar Jawa Barat dalam menyikapi peristiwa Perang Bubat.
Jika memang terjadi, mengapa hanya para penulis sejarah dari Jawa Barat saja
yang mengangkat peristiwa itu sebagai fakta sejarah.
Sebaliknya jika memang tidak pernah terjadi, bukan hanya ganjalan hubungan
emosional dua daerah yang bertetangga yang bisa dihilangkan. Tetapi
bagian-bagian yang mengisahkan peristiwa tersebut dalam naskah-naskah kuno
di atas, patut dikesampingkan atau bahkan diabaikan karena dianggap
menyesatkan. Namun jika benar kandungan naskah kuno tersebut, mengapa kita
harus malu dan kemudian berusaha menutup aib seseorang yang selama itu
berambisi menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Bukankah pepatah lama
mengatakan, "Tak ada gading yang tak retak?"
Apalagi sejarah yang ditulis dengan jujur bukanlah untuk mempermalukan seseorang. Tetapi bisa merupakan cermin untuk generasi berikutnya, sehingga tidak mengulang kekeliruan atau kesalahan yang sama. Dalam buku-buku sejarah yang ditulis oleh pengarang dari luar Jawa Barat, paling tidak terdapat dua buku yang memuat Perang Bubat menurut versi masing-masing.Peristiwa itu menjadi bagian dalam buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara" (Penelusuran Kepustakaan Sejarah) yang ditulis Capt. R.P. Suyono (Grasindo, 2003: 18). Suyono tidak menyebut peristiwa itu sebagai peperangan, namun dianggap sebagai "perkelahian". Padahal, katanya sendiri, dalam peristiwa itu, Raja Sunda dan seluruh pengiringnya tewas. Putri Sunda dibawa paksa ke Majapahit, namun tak lama kemudian meninggal.
Menjadi pertanyaan, jika dianggap "perkelahian" saja, mungkinkah mengakibatkan banyak orang tewas? Kalau perkelahian kan paling tidak hanya mengakibatkan luka kecil, benjol-benjol atau benjut. Paling tidak, tangan atau kakinya terkilir.Perkelahian sangat berbeda dengan perang. Perkelahian, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1996) berasal dari kata "kelahi". Berkelahi artinya mengadu tenaga, berhantam, bertinju, mengadu buku jari. Sebaliknya, "perang" artinya pertempuran dengan senjata antara dua negara, perkelahian besar antara dua kelompok orang, perlawanan yang sungguh-sungguh. Yang tak kalah menariknya adalah buku sejarah terbaru yang memberi tempat cukup panjang untuk Perang Bubat, "Jejak Nasionalisme Gajah Mada-Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru" yang ditulis oleh Dr. Purwadi M.Hum (DIVA Press, Jogjakarta, Agustus 2004). Kajiannya mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih dan sekaligus tokoh sentral yang mengantarkan puncak kejayaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara.
Sebagian besar perluasan wilayah kekuasaan itu berhasil diraih berkat peperangan. Namun tidak demikian halnya dengan Kerajaan Sunda yang menguasai wilayah bagian barat Pulau Jawa. Purwadi secara terang-terangan mengungkapkan upaya Gajah Mada melalui tipu muslihat sehingga pada tahun 1357 bisa mendatangkan Sri Baduga dan para pembesar Sunda ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di lapangan Bubat. Mengutip dasar tulisannya dari Kidung Sundayana, buku setebal 270 halaman itu, sembilan halaman dalam Bab VIII, Sumpah Palapa Gajah Mada Sebagai Politik Integrasi Nasional, bagian ini mengangkat hubungan dengan dengan Kerajaan Pakuan Pajajaran yang belum juga mengakui kekuasaan Majapahit, walau sudah dua kali diserang. Akhirnya, alih-alih Raja Hayam Wuruk yang lajang ingin menyunting putri Sunda yang kesohor cantik jelita, maka diutuslah Tuan Anepaken untuk melamar Dyah Pitaloka Citraresmi.
Maka ketika tiba saatnya, ratusan rakyat mengantar keberangkatannya yang disertai raja dan para bangsawan Sunda ke Majapahit dengan menggunakan perahu. Namun tiba-tiba, laut yang semula biru, secara mendadak dilihatnya berubah menjadi hamparan air yang berwarna merah. Tanda-tanda buruk itu rupanya tidak dihiraukan, sehingga setelah sepuluh hari berlayar, rombongan tiba di Bubat.
Namun apakah yang terjadi kemudian. Gajah Mada merasa keberatan menyambutnya karena menganggap putri Dyah Pitaloka Citraresmi akan "dihadiahkan" kepada Sang Raja. Sebaliknya Raja Sunda dan rombongan tetap bersikukuh bahwa putri Sunda yang cantik jelita itu akan "dipinang" oleh Hayam Wuruk. Perbedaan pendapat yang kemudian menimbulkan ketegangan itu akhirnya mencapai puncaknya setelah utusan Pasundan yang bernama Patih Anakepan mencela dengan keras sikap Gajah Mada. Bahkan ia mengingatkan adanya bantuan Pasundan yang tidak sedikit kepada Majapahit ketika menaklukkan Bali.
Purwadi menuturkan, sebelum ada keputusan sidang mahkota, Gajah Mada mendahului menyerang di sebelah utara kota Majapahit. Maka peperangan pun tak terhindarkan. Para kstaria terkemuka dari pihak Sunda yang bersemangat berperang ialah Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gampong, Panji Melong, orang-orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuan Usus, Pangulu, Rangga Kaweni, orang Siring, Satrajali, Jagadsaya, dan banyak lagi. Namun karena tujuan mereka bukan untuk berperang, maka hasil akhir peperangan itu sudah bisa ditebak. Dalam membela kehormatan martabatnya dan Kerajaan Sunda, Sang Prabu Maharaja gugur lebih dulu, jatuh bersama Tuan Usus. Namun peperangan masih belum berakhir.Para ksatria Sunda lainnya mengikuti jejak Prabu Maharaja, namun mereka terdesak dan akhirnya gugur. Pada halaman 173, Purwadi menggambarkan korban akibat peperangan tersebut secara dramatis: "Darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang Sunda, tak ada yang ketinggalan". Peristiwa ini terjadi pada tahun Saka sembilan kuda sayap bumi, atau tahun 1279.Prabu Maharaja yang gugur di Bubat sebagaimana diungkapkan naskah-naskah kuno di Sunda, memerintah selama tujuh tahun (1279-1357 M). Ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana, sehingga kematiannya yang tragis selalu dikenang.
Untuk mengisi kekosongan, selama enam tahun dari tahun 1357-1363 M, tampuk kekuasaan kerajaan berada di bawah perwalian Hyang Bunisora karena putra mahkota Prabu Niskala Wastu Kancana saat itu masih berusia di bawah umur. Setelah itu, Prabu Niskala Wastu Kancana memerintah dalam kurun waktu cukup lama, yakni selama 104 tahun, dari tahun 1363-1467. Ia dikenal juga sebagai Prabu Wangi yang menurut sumber-sumber prasasti, pernah memerintah dan meninggal di Kawali/Galuh. Ia memerintah dengan adil, sehingga mengantarkan kerajaan pada kebesaran dan kejayaan.
Hayam Wuruk yang merasa sangat menyesal dengan terjadinya Perang Bubat, ternyata tetap menepati janjinya tidak menyerang Kerajaan Sunda. Bahkan sampai akhirnya masa keemasannya makin suram dan kemudian Majapahit mengalami kehancuran
beberapa data yang patut dikaji ulang mengenai peristiwa Bubat
1. Kidung Sunda,
Bahwa ketika melihat Dyah Pitaloka mati, Hayam Wuruk sedih hatinya dan tak lama setelah itu maka Hayam Wuruk meninggal dunia, yang menjadi pertanyaan adalah jika setelah beberapa saat peristiwa Lapangan Bubat Raja Hayam Wuruk mangkat maka pada usia berapa tahun Hayam Wuruk memiliki anak yaitu Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana, andai saja kidung itu benar seharusnya akan ada masa kekosongan posisi Raja Majapahit karena putri Kusumawardhani masih kecil dan ini tentunya akan jauh lebih heboh.
Disebutkan bahwa utusan Majapahit ke Sunda hanya menempuh waktu 6 hari dengan menggunakan kapal, jika menggunakan kapal besar kemungkinannya melalui sungai brantas, sementara sungai brantas bermuara di selat surabaya berarti jauh sekali, jika melalui laut selatan mungkinkah? lantas benarkah kejadian tersebut!
2. simulasi angka tahun sejarah(data diambil dari wikipedia)
- 1334 Hayam Wuruk lahir (ditandai dengan gempa besar di prabanyu pindah)
- 1351 peristiwa lapangan Bubat berarti usia Hayam Wuruk 17 tahun(1351-1334=17)
- 1365 dalam negara krtagama Kusumawardhani sudah menikah dengan Wikramawardhana, jadi usia Kusuma wardhani pada saat peristiwa bubat adalah kurang dari 14 tahun(1365-1351=14), dan usia Hayam Wuruk adalah 31 tahun (1365-1334=31)
- 1377 Hayam Wuruk menyerang palembang sebagai penundukan atas Sriwijaya, usia Hayam Wuruk 43 tahun (1377-1334=43)
- 1389 Hayam Wuruk Meninggal di usia 55 tahun(1389-1334=55) dan wikramawardhana menjadi raja
jika hal di atas benar maka benarkah kutipan dalam pararaton menyebut bahwa Hayam Wuruk meninggal setelah peristiwa bubat karena kesedihan atas meninggalnya Dyah Pitaloka, karena berdasar data tersebut Hayam Wuruk meninggal 38 tahun setelah peristiwa Bubat!!
0 comments:
Post a Comment