Fathimah adalah seorang gadis kecil yang
lemah lembut dan berani, namun hidup dalam keprihatinan. Pada masa kanak-kanak,
dia tidak memperoleh kehidupan dalam kemanjaan yang biasa dinikmati oleh
anak-anak sebayanya. Keluarganya hidup dalam pengasingan sehingga kecerian
bermain, bercanda, dan bermanja berganti dengan hinaan dan cercaan dari kaum
Quraisy. Ketika berangkat remaja, diapun ditinggalkan oleh ibu tercintanya,
Khadijah. Tugas rumah tangga pun beralih kepadanya, karena semua saudara
perempuannya telah mengikuti suami mereka. Semua itu dijalaninya dengan penuh
keprihatinan, namun ikhlas.
Hari-harinya penuh dengan tugas kerumahtanggaan. Dialah yang menyediakan makanan, minuman, dan segala keperluan untuk ayah tercintanya, Rasulullah Saw. Dia pulalah yang menghibur dan menyenangkan hati sang ayah bila duka melandanya. Gadis kecil yang tabah dan lembut itu telah menjadi pengganti ibu di rumah tangga ayahnya.
Pada suatu hari, ketika sedang asyik menyediakan makanan untuk ayahnya, tiba-tiba temannya memanggil dari luar, "Fathimah, Fathimah, kesinilah, lihatlah ayahmu." "Kenapa dengan Ayahku ?" tanya Fathimah dengan cemas. "Orang-orang Quraisy telah memperolok-olokkan ayahmu di Masjidil Haram,"kata teman Fathimah. Tanpa mendengarkan lanjutan cerita temannya itu, Fathimah tergesa-gesa berlari dan berlari menuju Ka'bah. Setibanya dilapangan terbuka dekat Ka'bah, Fathimah melihat ayahnya, Rasulullah, sedang bersujud, sementara orang-orang kafir mengerumuninya. Dia bergegas menghampiri orang tuanya.
"Astaghfirullah," kata Fathimah.Dia melihat punggung orang tuanya berlumuran dengan kotoran unta. Secepat kilat dibersihkannya kotoran yang menempel dipunggung ayahnya. Ketika hampir selesai didengarnya orang ramai terbahak-bahak. Fathimah berpaling dan dengan kesal berkata, "Alangkah sampai hati kalian memperolok-olok ayahku, padahal dia adalah keluarga kalian sendiri. "
Mendengar ucapan Fathimah, olok-olok mereka tidak malah reda, tetapi bahkan tawa mereka semakin seru. Salah seorang diantara mereka berkata, "Orang tuamu yang telah memperolok-olok agama nenek moyang kita."
"Ketahuilah, apa yang telah dikatakan oleh ayahku adalah ajaran yang benar. Kalian telah sesat selama ini. Tidak ada yang dikatakan oleh ayahku, kecuali apa yang telah diwahyukan Tuhan kepadanya." balas Fathimah dengan berani.
"Haaa,haaa,haa," tawa meraka bertambah seru mendengar cerita Fathimah seraya berkata, "Cerita kamu itu adalah cerita orang gila." Fathimah merasa tersinggung. Dia berkata,"Janganlah kau tuduhkan hal yang demikian itu kepada keluargamu sendiri. Pernahkah ayahku membohongi kalian? Bukankah dia yang telah menyelesaikan perselisihan diantara kalian ?Bukankah kalian yang memberinya gelar Al-Amin (yang dapat dipercaya)?"
Mereka terdiam. Apa yang dikatakan Fathimah adalah benar. Mereka tidak dapat menyangkalnya. Mereka terdiam sejenak, dan berangsur-angsur meninggalkan fathimah. Mereka bergumam,"Seorang Kanak-kanak membela ayahnya."
Fathimah pun kembali membersihkan punggung ayahnya, sementara air matanya menetes tak tertahan melihat penderitaan ayah tercintanya.Akhirnya, diapun menangis sesenggukan.
Setelah ayahnya mengucapkan salam sujudnya, Dilihatnya Fathimah menangis tersedu- sedu. "kenapa kau menangis, anakku?" tanya Rasulullah. fathimah bertambah menangis, sehingga nafasnya memburu menahan sedu."Duh Ayahku, alangkah tabah hatimu. Mereka telah melumuri pakaianmu dengan kotoran, meraka telah memperolok-olokmu, namun tidak ada dendam di hatimu."
"Ketahuilah anakku, mereka tidak menyadari perbuatannya, "Rasulullah menghibur anak gadisnya. Sambil berbimbingan mereka pulang kerumah. Selama dalam perjalanan, fathimah bersesenggukan. Dia prihatin terhadap nasib yang menimpa rasulullah.
Pada suatu hari yang lain, Rasulullah pulang ke rumah dengan muka sembab dan pakaian yang penuh kotoran. Di pelipis tampak ada darah mengalir. Fathimah tersedu lagi,"Duh ayahku, alangkah menderitanya engkau." Ayah tersayang menjawab, "Anakku ..., tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan." Fathimah segera saja mengambil kain dan air, kemudian membersihkan luka ayahnya. Hatinya pilu dan air matanya tak tertahankan lagi. Dia pun menangis sesenggukan.
"Jangan menangis anakku, dan jangan marah kepada orang yang telah berbuat tidak baik kepada ayahmu. Doakanlah mereka semoga mereka cepat menyadari kesesatannya," ujar Rasulullah menasehati anaknya.
Sifat seorang ayah yang suka memaafkan orang yang berbuat jahil terhadapnya ini, mengalir kepada Fathimah. "Alangkah pemaafnya engkau ayahh, " kata batin Fathimah. "Adakah orang yang telah menyakiti dirimu, tetapi tidak kau maafkan ? Dapatkah aku memaafkan orang yang telah berbuat pada diriku? Oh ayah alangkah baiknya jiwamu. Akan kuingat sifat ayah yang pemaaf ini"."Sifat pemaaf inilah yang menempa gadis cilik ini. Sifat ini telah menjadikannya bersifat zuhud, menerima dengan ridha apa yang menimpa dirinya.
Kenyataan pahit yang melanda keluarganya, gangguan-gangguan menyakitkan yang menimpa ayahnya, menyebabkan gadis kecil lebih cepat dewasa di banding umurnya. Fathimah cepat dewasa dalam berfikir, sehingga cepat menanggapi situasi yang dihadapinya.
0 comments:
Post a Comment