Bahkan, bisa
dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi
setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika
maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan
terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan
mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang
demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran
politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa.
Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan
posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi
lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan
mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang
mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi
perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian,
segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih
merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku
politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen
awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup
rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti
tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah
perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa
perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar
dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama
menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat
ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta
keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan
dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan
terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang
telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik
lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam
artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan
terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi
konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada
refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit
dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian
besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di
dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada
gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam
satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri
Presiden Soeharto.
Pemihakan
terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari.
Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam
berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani
menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar
konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib
yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada
kehidupan gerakan mahasiswa.
Pada
mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing
agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan
transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi
pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat
pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak
melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas.
Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk
meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya
mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang
khas".
Masa
selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah
pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah
yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah
yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang
secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang
kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis
tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang
dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat
kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka
akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam
kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius
semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan
dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena
dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit
pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut.
Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung
dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan
mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk
rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan
memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa ---
jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan
efektif.
Kedekatannya
dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun
selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya
kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan
juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat
berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow
bowling)..
Oleh
karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan
gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada
suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian
peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun
1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966,
Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo
Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan
Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar
peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa
sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat
aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi
katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang
kekuasaan tirani.
0 comments:
Post a Comment