::Konflik Antar Kalula::
Selama tujuh pariama (diperkirakan kurang-lebih 70 tahun) yang disebut sebagai Bone pada awalnya hanya meliputi tujuh unit anang (kampung) yakni; Ujung, Ponceng, Ta’, Tibojong, Tanete Riattang, Tanete Riawang dan Macege, tenggelam dalam situasi konflik yang berkepanjangan. Kondisi ini dalam bahasa Bugis dikenal dengan istilah sianre bale,
dimana yang kuat memangsa yang lemah. Luas Bone pada masa itu terbilang
lebih kecil dari Ibukota Kabupaten Bone, Watampone sekarang.
Masing-masing anang dipimpin oleh seorang Kalula,
gelar pemimpin kelompok. Situasi politik ini merupakan akibat langsung
dari kondisi tidak adanya (lagi) tokoh yang mereka anggap sebagai
pemimpin besar yang dapat mempersatujuan visi dan misi ke tujuh anang tersebut. Menurut lontara’, hal ini secara implisit dijelaskan dalam Sure’ La Galigo, lebih disebabkan oleh punahnya (sudah tidak terdeteksinya) keturunan-keturunan La Galigo di Bone. Ketujuh pemimpin (kalula) kelompok masyarakat (anang) saling mengklaim “hak” atas kepemimpinan wilayah Bone tersebut. Ada juga budayawan yang menyebut Kalalu Anang Cina,
Barebbo, Awampone dan Palakka sudah turut dalam perjanjian ManurungE
dengan orang Bone, namun karena kurangnya data/lontara’ yang mendukung,
penulis menafikan pernyataan tersebut.
Konflik antar kalula berlangsung selama
bertahun-tahun. Masing-masing mengkalim sebagai keturunan La Galigo
yang, karena keterbatasannya tidak mampu menunjukkan bukti-bukti (mereka
belum mengenal silsilah), merasa berhak atas kepemimpinan dikalangan
kalula. Semangat kejahiliyahan membara untuk saling atas-mengatasi
sehingga perang saudara (kelompok) tidak bisa dihindari.
.:Catatan:. ada yang
menafsir satu pariama sama dengan seratus tahun, ada pula yang
mengatakan sepuluh tahun; namun beberapa informasi dari lontara’ lebih
rasional mengikuti yang sepuluh tahun).
::Manurung-E::
Manurung-E, berasal dari bahasa Bugis yang dalam terjemahan bebasnya berarti “orang yang turun dari ketinggian“.
Dalam aturan bahasa bugis, khususnya Bugis-Bone, akhiran E dipakai
untuk menunjuk kata kepunyaan, akhiran ‘nya’ dalam bahasa Indonesia.
Sehingga akhiran E pada kata Manurung yang diikutinya akan menunjukkan arti dialah orang yang turun dari ketinggian.
Kepercayaan Bugis-Makassar sebelum mengenal Islam, Manurung-E atau Tu Manurung (red. Makassar) dianggap sebagai perwujudan tuhan, dewa (Bugis-Bone: dewata seuwwaE);
manusia yang turun dari langit, namun bukan sebagai manusia pertama
(Adam). Namun seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, sulit rasanya
untuk menerima argumen-argumen to-riolo (nenek moyang).
Sejumlah asumsi yang dibangun oleh ahli sejarah pun tidak cukup
memberikan pemahaman yang memadai kepada kita dikarenakan kurangnya
bahan kajian. Satu hal penting yang disepakati oleh para budayawan
adalah bahwa Manurung-E merupakan manusia yang mempunyai kelebihan
dibandingkan manusia lainnya; pandai dan mempunyai wawasan yang lebih
luas dibandingkan masyarakat sekitarnya.
Hal ini juga dipertegas dalam lontara’
yang mengisahkan adanya sekelompok masyarakat yang menyambutnya kemudian
memintanya untuk menjadi raja/mangkau’. Oleh sebab itu, disinyalir to manurung sebagai orang suci (saint)
yang sedang dalam perjalanan spiritual. Namun, kemudian terdampar pada
sebuah daerah (bugis) yang ‘kebutulan’ belum memiliki sosok
pemimpin/raja.
Berbeda dengan di daerah lain, sebut
misalnya di pulau Jawa, yang banyak meninggalkan jejak sejarah seperti
prasasti yang informasinya dapat bertahan lama. Oleh sebab itu, lontara’
harus diletakkan pada posisi terdepan sebagai bahan kajian untuk
mengungkap misteri perjalanan suku-suku di Sulawesi.
Selain di Nederland-Belanda, keberadaan
lontara yang mempunyai informasi penting mengenai sejarah Kerajaan Bone,
khususnya kebudayaan Bugis-Makassar, disinyalir masih banyak berserakan
di tangan-tangan penduduk. Namun ada kepercayaan benda-benda sejarah
ini memiliki “tuah” sehingga mereka enggan memberikan kepada peneliti.
Mereka masih percaya bahwa dengan memegang lontara,kewibawaan mereka
akan tetap terjaga dan senantiasa dihormati oleh masyarakat.
::Berdirinya Kerajaan Bone::
Dalam lontara’ disebutkan, ketika keturunan dari Puatta Menre’E ri Galigo malawini darana
(bangsawan dan rakyat-biasa sudah tidak bisa dibedakan sebagai akibat
perkawinan) terjadi kekacauan yang luar biasa karena ketiadaan sosok
pimpinan yang berasal dari bangsawan (manurung). Keadaan Bone saat itu, chaos.
Norma-norma hukum tidak berlaku, adat-istiadat dipasung, kehidupan
ummat tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa dan
saling membunuh. Bone butuh sosok pemimpin, namun dari kalangan mereka
tidak ada yang saling mengakui keunggulan satu sama lain.
Ketika konflik tengah berlangsung, sebuah
gejala alam yang mengerikan melanda wilayah Bone dan sekitarnya. Gempa
bumi terjadi demikian dahsyatnya, angin puting beliung menerbangkan
pohon beserta akar-akarnya, hujan lebat mengguyur alam semesta dan
gemuruh guntur diiringi lidah kilatan petir yang menyambar datang silih
berganti selama beberapa hari. Gejala alam seperti ini juga diceritakan
dalam pararaton (Kitab Raja-raja) dan prasasti peninggalan kerajaan Majapahit.
Sesaat setelah hujan reda, dari ufuk
timur muncullah bianglala. Tidak berapa lama, di tengah padang nampak
segumpal cahaya yang menyilaukan mata, muncul sosok manusia mengenakan
pakaian serba putih (pabbaju puteh). Karena tak seorang pun
yang mengenalnya, orang-orang menganggapnya sebagai To Manurung, manusia
yang turun dari langit. Cerita kemunculan To Manurung ini cepat
menyebar di kalangan Kalula. Dan mereka pun mengunjungi Sang Misteri.
Para kalula anang (pemimpin kelompok) kemudian mengorganisir
diri berembuk untuk, dan sepakat, mengangkat To Manurung menjadi raja
mereka. Bersama dengan orang banyak yang berkumpul tersebut, para kalula
kemudian berkata,
Kami semua datang ke sini memintamu agar engkau tidak lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi mangkau’. Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kamipun akan turut mencelanya asal engkau mau tinggal.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Bagus sekali maksud tuan-tuan, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi Mangkau sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat mangkau’, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah bangsawan yang saya ikuti.”
Orang banyak berkata,
“Bagaimana mungkin kami dapat mengangkat seorang mangkau yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang mangkau, aya akan tunjukkan tempat matajang (terang), disana lah bangsawan itu berada”.
Orang banyak berkata,
”Kami benar-benar mau mengangkat seorang mangkau, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang
yang disangka To Manurung bernama Puang Cilaong, mengantar orang banyak
tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada
dalam kota Watampone sekarang). Gejala alam yang mengerikan tadi kembali
terjadi. Halilintar dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung
dan hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah
keadaan reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas
sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut
ditemani tiga orang yaitu; satu orang yang memayungi teddumpulaweng
(payung berwarna kuning keemasan), satu orang yang menjaganya dan satu
orang lagi yang membawa salenrang. To Manurung,
”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab,
”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang
disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar
orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian kuning keemasan.
Berkatalah orang banyak kepada To Manurung,
”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah (lagi) engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi mangkau’. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri-kami engkau cela, kami pun (turut) mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”
Manurung menjawab,
”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi tawar menawar, semacam kontrak sosial, antara To Manurung dengan orang banyak (kalula anang), dipindahkanlah Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang.
Salah satu kelebihannya yang menonjol adalah jika datang di suatu
tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui
jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE. ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi mangkau’ pertama di Bone.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), mappasikatau (meredakan segala macam konflik horisontal) dan pangadereng (mengatur tatacara berinteraksi sesama masyarakat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama woromporong-E berwarna merah dan putih –mirip bendera Republik Indonesia sekarang.
Setelah genap eppa pariyama (empat dekade) memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan,
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita (ketika menunjuk/ngangkat aku sebagai Mangkau’-Bone”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan
kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri
Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan teddum-pulaweng (payung
kuning keemasan) turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone
heran. Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa
menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone.
::Keturunan::
Manurung-E ri Matajang kawin dengan We Tenri Wale-ManurungE ri Toro. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa, We Pattanra Wanuwa, dan We’ Samateppa (lima bersaudara, dua diantaranya tidak tercatat [belum] ditemukan dalam lontara’).
Namun, berdasarkan laporan penelitian dari tim Royal Ark diperoleh informasi bahwa hasil perkawinan Manurung-E ri Matajang dengan We Tenri Wale-Manurung-E ri Toro mempunyai dua orang putera dan empat orang putri yakni:
- Bolong-Lelang, meninggal masa kanak-kanak;
- La Ummasa To Mulaiye Panreng, yang selanjutnya menjadi Arumpone kedua;
- We’ Tenri Ronrong, meninggal masa kanak-kanak;
- We Pattanra Wanuwa, kawin dengan La Pattikkeng-Arung Palakka. Dari hasil perkawinan ini lahirlah Latenri Longorang, La Saliyu Karampeluwa Pasadowakki yang selanjutnya menggantikan pamannya menjadi Arumpone, We Tenri Pappa yang kawin dengan La Tenri Lampa-Arung Kaju, We Tenri Ronrong kawin dengan dengan La Paonro-Arung Pattiro;
- We Tenri Salogan kawin dengan La Ranringmusu-Arung Otting; dan
- We Arantiega kawin dengan La Patongarang-arung Tanete
0 comments:
Post a Comment